Nekrolisis Epidermal
Toksik
Original from: Andi
Nurhatijah, Rusdin Isnain Makbul
I.
PENDAHULUAN
Nekrolisis epidermal toksik (TEN) dan Sindroma
Stevens-Johnson (SSJ) adalah reaksi akut dari suatu pengobatan yang ditandai
dengan kematian dan pengelupasan kulit di bagian epidermis. NET umumnya
merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada SSJ, sehingga jika
pengobatannya tidak cepat dan tepat sering menyebabkan kematian.(1, 2)
Penyakit ini melibatkan kulit dan membran mukosa. Makula yang eritem sebagian besar berada pada badan dan lengan yang proksimal, secara cepat berubah menjadi lepuhan dan akhirnya akan terkelupas. Gejala kulit yang terpenting ialah epidermolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata.(1, 2)
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Allan Lyell
pada tahun1956 sebanyak empat kasus, sehingga penyakit ini disebut juga Sindrom
Lyell’s. NET ditemukan oleh Allan Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang
menyerupai luka bakar pada kulit akibat terkena cairan panas (scalding). Kata “toxic” yang digunakan mengacu pada kondisi dimana beredarnya racun
dalam peredaran darah yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala dan nekrolisis
epidermal. Sedangkan kata “necrolysis” digunakan Lyell’s dengan menggabungkan
gejala klinis epidermolisis dengan gambaran histopatologi “necrosis’. Beliau
juga menggambarkan keterlibatan mukosa sebagai bagian dari sindrom, dan
ditemukan hanya terjadi sedikit inflamasi di daerah dermis yang kemudian
disebut “dermal silence”. Sindrom ini
juga dapat mengenai konjungtiva,
kornea, iris, mukosa
mulut, bibir dan membran mukosa genitalia. Gambaran klinis ini jelas berbeda
dengan penyakit lain yang memiliki gambaran klinik berupa lepuhan (blister) dan
terjadi inflamasi, seperti yang terjadi pada eritema multiformie, dermatitis
herpetiformis dan pemfigoid bulosa.(3, 4)
Pada awalnya sindrom
Steven-Johnson (SSJ) dan nekrolisis
epidermal toksik (NET) dianggap sebagai manifestasi dari suatu penyakit yang
sama, eritema multiforme, hanya saja tingkat keprahannya yang berbeda.
Sementara itu beberapa penulis menganggap bahwa NET merupakan kelanjutan dari
SSJ yang lebih parah, karena pada sebagian penderita SSJ penyakitnya akan
berkembang menjadi NET. Klasifikasi
Bastuji-Garrin dkk (1993) dibuat berdasarkan luasnya pelepasan kulit, pada
sindrom Steven-Johnson kurang dari 10% dan pada nekrolisis epidermal toksik
lebih dari 30%. Diantara 10%-30% merupakan bentuk peralihan.(5-7)
Menurut Djuanda dkk (2009) perbedaan mendasar antara
SSJ dan NET yaitu, dimana pada NET ditemukan adanya epidermolisis, pemisahan
epidermis dari dasarnya, yang tidak ditemukan pada SSJ.(2)
II.
DEFINISI
Nekrolisis epidermal toksik ialah penyakit berat,
gejala kulit yang terpenting ialah epidermolisis generalisata dapat disertai kelainan
pada selaput lendir di orifisium dan mata.(2)
Nekrosis epidermal toksik dan Steven-Johnson sindrom
merupakan reaksi akut mukokutaneus yang mengancam berupa nekrosis dan pelepasan
epidermis yang luas.(1)
III.
EPIDEMIOLOGI
Penyakit NET ini bisa terjadi pada segala kelompok
umur, dan meningkat pada usia kepala empat, dan wanita lebih sering terkena.
Tingkat kematian rata-rata pada NET adalah 20-25%. Usia yang lebih tua,
kelainan yang bermakna, dan daerah kulit yang lebih banyak terlibat berhubungan
dengan prognosis yang buruk. Kelompok pasien yang berisiko, yaitu pasien dengan
imunitas yang rendah (HIV, Limfoma) dan pasien dengan tumor otak yang menjalani
radioterapi dan menerima anti epilepsi.(1, 3)
Diseluruh dunia insidens NET mencapai 0,4-1,3 kasus
per 1 juta populasi, di Perancis survei yang dilakukan oleh dermatologists
melaporkan insidens NET mencapai 1 kasus per 1 juta penduduk. Di amerika
serikat kejadian NET dilaporkan sekitar 0,22-1,23 kasus per 100,000 populasi.(7)
Djuanda dkk dalam bukunya dikatakan jika
dibandingkan dengan Sindrom Stevens-Johnson (SSJ), penyakit Nekrolisis
epidermal toksik lebih jarang. Hanya ada 2-3 kasus setiap tahun. (2)
Tingkat mortalitas NET mencapai 34% sampai 40%.
Tingkat mortalitas ini tidak dipengaruhi oleh jenis obat. Saat ini tingkat
kejadian NET meningkat sekitar 1 kasus per seribu populasi per tahun pada
populasi HIV-positif. Peningkatan insiden NET pada penderita HIV disebabkan
penggunaan sulfonamid
pada penderita.(8)
IV.
ETIOLOGI
Penyebab dari NET masih belum jelas, namun ditemukan
bahwa obat-obatan merupakan salah satu faktor penting. Obat-obatan yang
beresiko tinggi yaitu sulfonamid, antikonvulsan
aromatik, allopurinol, anti inflamasi non-steroid,
lamotrigin, dan nevirapin. Ada juga
obat dengan resiko lebih rendah yang dilaporkan
jenis antibiotik
non-sulfonamid seperti
aminopenicilin, kuinolon, sepalosporin, dan tetrasiklin. Mekanisme
fisik seperti radioterapi dalam hal ini penangan dengan obat anti-epilepsi
seperti phenytoin, fenobarbital, atau karbamazepin dapat menimbulkan NET dengan cara radiasi.(1)
Penyebab utama NET yang ditemukan yaitu allergi obat
yang berjumlah 80-95% dari semua pasien. Pada penelitian yang dilakukan selama
lima tahun (1998-2002) penyebab utama ialah derivat pensilin (24%), disusul
oleh parasetamol (17%), dan karbamazepin (24%). Penyebab yang lain adalah
analgetik/antipiretik, yang lain, kotrimokzasol, dilantin, klorokuin,
seftriakson, jamu dan aditif.(2)
Selain karena obat, NET dapat pula diinduksi oleh
infeksi atau bersifat idiopatik. Namun obat merupakan penyebab tersering,
dilaporkan bahwa lebih dari 100 jenis obat dapat menyebabkan terjadinya NET..(9)
Jenis Obat
|
Nama Obat
|
Antibiotik
|
Sulfonamides 94,5
kasus per 1 juta pengguna per minggu
Chloramphenicol
Macrolides
(eritromisin)
Penisilin
Quinolon
(ciprofloxacin, trovafloxacin)
|
Anticonvulsan
|
Phenobarbital
Phenytoin
Carbamazepin
Valproic acid
Lamotrigine
|
NSAIDs
|
Phenylbutazone dan
oxybutazone
Oxicams
Ibuprofen
Indomethacin
Sulindac
Tolmetin
|
V.
PATOGENESIS
Mekanisme yang jelas sehingga obat dapat menyebabkan
timbulnya NET belum diketahi secara pasti. Tetapi, mekanisme imunologis, metabolit obat
yang mengalami reaktivasi dan interaksi diantara keduanya diduga merupakan
patogenesis timbulnya NET.(10)
Meskipun rangkaian yang tepat dari peristiwa molekul
dan seluler belum di mengerti secara lengkap, beberapa studi telah memberikan
petunjuk penting tentang patogenesis dari NET. Menurut Adhi djuanda dan Mochtar
Hamzah (2009), NET ialah bentuk parah dari SSJ. Sebagian kasus-kasus SSJ
berkembang menjadi NET. Imunopatogenesis yakni merupakan reaksi tipe II
(sitolitik). Studi immunopatologik mendemonstrasikan kemunculan dari CD8+
limposit T pada epidermis dan dermis dalam reaksi bentuk bulla, dengan
ciri-ciri sel yang mirip natural killers pada fase awal, dimana monosit akan
muncul pada fase akhir. Beberapa sitokin penting yaitu interleukin 6, TNF-α,
dan Fas-L juga muncul pada lesi kulit pasien NET. TNF mungkin juga berperan
penting. Molekul ini muncul pada lesi epidermis, cairan lepuh, dan dalam sel
mononuclear perifer dan makrofag. Sekarang ditemukan teori genetika yang juga berperan
penting. Penemuan di Han cina antara NET-carbamazepine dengan HLA-B1502 sangat
berhubungan, meskipun tidak muncul pada pasien Eropa yang tidak memiliki
keturunan Asia.(1, 2)
Pada penderita NET ditemukan, keratinosit mengalami
apoptosis yang luas. Kondisi ini dipicu oleh adanya gangguan detoksifikasi
metabolit obat yang bersifat reaktif. Hal ini kemudian menginisiasi respon
sistem imun tubuh membentuk kompleks antigen yang kemudian menghasilakn
sitokin-sitokin seperti interleukin (IL)-6, TNF-α, interferon-γ, IL-18 dan Fas
Ligand (FasL). Pada kondisi normal, apoptosis sel segera dieliminasi pada tahap
awal oleh fagosit. Namun, pada kondisi
seperti NET apoptosis yang luas terjadi sehingga kemampuan fagosit untuk
mengeliminasi sel yang apoptosis terbatas sehingga sel menjadi nekrosis dan menghasilkan komponen intraseluler, yang
menyebabkan respon inflamasi.(3)
Pada kulit yang normal FasL yang disajikan oleh
keratinosit sangat rendah dan terlokalisir di dalam sel (intraseluller). Pada
lesi akibat NET, ditemukan level FasL yang disajikan oleh kratinosit tinggi dan terletak
dipermukaan luar sel (ekstraseluler) sehingga terjadi interaksi antara Fas dan FasL. Setelah kontak terjadi FasL
menginduksi Fas multimerasi dan mengirimkan signal yang cepat sehingga terjadi
kematian cell akibat apoptosis. Semakin lausnya apoptosis semakin menyebabkan
destruksi epidermis yang luas pula.(3)
VI.
GEJALA
KLINIS
NET merupakan penyakit yang berat dan sering
menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau karena
sepsis. NET mulai dalam 8 minggu atau biasanya 4-30 hari setelah terpapar oleh
obat.(1, 2)
Gambar 1. Kematian pada kasus NET.
(dikutip dari kepustakaan no 8)
|
Penyakit ini dimulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit
berat dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Gejala lain
berupa sakit kepala, rhinitis, dan myalgia muncul lebih awal 1 sampai 3 hari
dari lesi kulitnya. Kelainan kulit mulai
dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula
disertai purpura. Lesi pada kulit dapat disertai lesi pada bibir dan selaput
lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan pendarahan sehingga terbentuk krusta
berwarna merah hitam pada bibir.(1, 2)
a.
Nekrosis epidermis yang
tebal disertai lepuhan, tanpa disertai inflamasi dari dermis yang mengenai
>30% permukaan tubuh.
b.
Terdapat dua atau lebih
mukosa yang erosi (orofaring, hidung, mata, traktus genitalia, dan traktus
respiratoris)
Pada NET yang terpenting ialah terjadinya
epidermolisis, yaitu epidermis yang terlepas dari dasarnya yang kemudian
menyeluruh. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit
yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan
terkelupas. Pada sebagian para pasien kelainan kulit hanya berupa epidermolisis
dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula, kuku dapat pula terkelupas
(onikolisis).(2)
Gambar 2. Epidermiolisis yang luas pada kasus
peralihan sindrom Steven-Johnson dan NET
(diambil dari kepustakaan no.5)
|
VII.
DIAGNOSIS
Diagnosis
dapat ditegakkan dengan melihat gambaran klinik dan histopatologi. Gambaran
klinik meliputi eritema dan makula yang luas. Disertai tanda Nikolsky positif
yang dapat timbul jika dilakukan penekanan pada kulit.(12)
Gambar 3: Gambar histopatologi nekrolisis
epidermal toksik. A: nekrosis epidermisdengan sedikit reaksi dilapisan dermis
pada stadium puncak. B. Pelepasan epidermis dari dermis yang menyerupai
lembaran
(diambil dari kepustakaan no. 1)
|
Biopsi
dapat membantu dalam menegakkan diagnosis dengan melihat pemisahan yang terjadi
pada subepidermis dan seluruh epidermis menjadi nekrosis. Frozen section juga
dapat membatu dengan cepat membedakan antara NET dengan scalded skin syndrom.(13)
Tidak ada pemeriksaan yang dengan
pasti dapat membantu untuk mengetahui obat mana yang menyebabkan timbulnya NET
karena cara provokasi yang dianggap dapat menentukan penyebab NET sangat
berbahaya jika dilakukan. Namun, dilaporkan teknik mengeliminasi obat yang
dikonsumsi pasien tanpa harus diprovokasi terbukti berhasil membantu
mengeetahui penyebab NET. Teknik eliminasi obat tersebut dilakukan dengan
memenuhi syarat sebagai berikut:(11)
1.
Kebanyakan obat yang
menyebabkan NET diberikan dalam kurun waktu 1-3 minggu sebelum terjadi
reaksi.
2.
Obat-obat yang
diberikan 48-72 jam terakhir dicatat dapat menyebabkan NET
3.
Obat yang tercatat
diberikan kurang dari 24 jam terakhir tetapi dikonsumsi dalam 3 minggu terakhir
tidak termasuk penyebab NET.
VIII.
DIAGNOSIS BANDING
a.
Sindrom
Steven-Johnson (SSJ)
Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa: kelainan kulit,
kelainan selaput lendir diorifisium dan kelainan mata. Karena NET dianggap
bentuk parah dari SSJ, makanya hendak dicari apakah terdapat epidermolisis.
Pada NET terdapat epidermolisis generalisata yang tidak terdapat pada SSJ.(14)
Gambar
4 : makula eritem disertai pelepasan
kulit pada beberapa area yang ditemukan pada sindrom Steven-Johnson
(diambil dari
kepustakan no.11)
|
b.
Staphylococcus scalded
skin syndrome
Staphylococcus scalded skin syndrome (SSSS) merupakan
penyakit yang ditandai dengan munculnya lepuhan-lepuhan pada kulit yang
disebabkan racun yang dihasilkan oleh Staphylococcus
aureus.(15)
Epidermolisis yang terjadi pada Staphylococcus scalded skin syndrome mirip dengan
nekrolisis epidermal toksis, hanya saja pada Staphylococcus scalded skin
syndrom epidermolisis hanya terbatas pada stratum korneum. Dari segi usia,
nekrolisis epidermal toksik muncul pada usia dewasa sedangkan staphylococcus
scalded skin syndrom muncul pada bayi dan anak-anak.(15)
Gambar 5:
SSSS yang terjadi generalisata pada neonatus.
(diambil dari
kepustakaan No.14)
|
c.
Pemfigus
Berdasarkan gambaran histopatologinya dapat
didefersiasi dengan penyakit
pemfigus. Pemfigus nampak sama dengan NET hanya saja
pada pemfigus perjalanan penyakitnya lambat dan lebih terlokalisasi.(13)
Pemfigus merupakan suatu penyakit serius yang bersifat
akut maupun kronik, yang disebabkan oleh proses autoimun. Keadaan umum biasanya
buruk, lesi biasanya dimulai pada mukosa mulut, lesi tersebut biasanya
berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bulla generalisata. Penyakit ini
tidak disertai gatal tetapi nyeri dan rasa terbakar sering dikeluhkan oleh
penderita pada daerah yang mengalami erosi dan bulla.(16)
Bulla yang timbul berdinding kendur, mudah pecah, dengan
meninggalkan kulit terkelupas dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama
bertahan di atas kulit yang terkelupas tersebut. Bulla dapat timbul di atas
kulit yang tampak normal atau yang eritematous. Tanda nikolskiy positif
disebabkan oleh adanya akantolisis.(17)
Gambar 6: Bulla dan erosi yang luas pada pasien
pemfigus vulgaris
(diambil dari kepustakaan no 16)
|
d.
Sistemik Lupus
eritematous
Penyakit vesickobulosa
yang mirip dengan NET juga ditemukan pada pasien Lupus eritematous akut dan
subakut yang tidak diobati. Sontheimer dkk memperkenalkan acute syndrome of apoptotic pan-epidermolysis untuk menggambarkan
sindrom klinis ini. (3)
Gambar 7:
Subakut kutaneus Lupus eritematous. Berupa plak eritematous pada badan dan
leher penderita
|
e.
Luka bakar dan foto
toksik
Luka bakar dan foto toksik dapat dihubungkan dengan
NET jika dilihat dari nekrosis epidermal yang terjadi. Tetapi, jika dilihat
dari gambaran klinik secara keseluruhan dan riwayat serta distribusi lesinya sebenarnya
berbeda. (3)
Gambar
8. Gambaran Nekrolsis epidermal
toksik yang menyerupai luka bakar. Tampak kemerahan dan terdapat lepuhan.
(diambil dari kepustakaan 11)
|
IX.
Penatalaksanaan
Jika NET disebabkan oleh pengunaan obat, maka obat
yang diberikan tersebut dihentikan penggunaanya. Selain itu, penatalaksanaan
dilakukan secara simptomatik. Perawatan yang intensif dan dukungan medis
dibutuhkan, seperti pemasangan central
venous line, pemberian cairan intravena dan elektrolit. Beberapa pasien
memerlukan perawatan seperti layaknya luka bakar. Beberapa pendapat tidak
menganjurkan penggunaan kortikosteroid, tetapi jika diberikan hanya boleh
diberikan dalam jangka waktu yang singkat. Pemberian IgG dapat dipertimbangkan.(13)
Terapi
Topikal
Meskipun lepuhannya
sangat mudah pecah tapi jika belum juga pecah dapat kita pecahkan dan kemudian
diberi salep clorheksadine, octenisept atau polyhexadine solution. Selain itu,
penggunaan disinfektan yang digunakan untuk berkumur juga dibutuhkan pada
pasien NET untuk mengobati erosi pada mukosa mulut dan juga dibutuhkan
dexphantenol untuk mengobati erosi dan krusta yang ada di derah bibir.
Penanganan multidisiplin dibutuhkan pada lesi yang mengenai mukosa uretra
ataupun mata. Oleh karena itu pasien juga dikonsul pada bagian lain, yaitu
spesialis urologi dan spesialis mata.(19)
Perawatan
Supportif
Pasien ditempatkan pada suhu kamar (30-320C)
dan dibaringkan di atas matras yang mudah ditukar (alternating matrass). Pasien
NET membutuhkan penggantian cairan elektrolit (0,7/kgBB/% area tubuh yang
terkena) dan albumin (5% human albumin,
1 ml/kgBB/% daerah yang terkena). Jika pasien tidak dapat makan secara
langsung, harus diberikan makanan melalui selang nasogastrik (1500 kalori dalam
1500 ml pada 24 jam pertama, dan dinaikkan 500 kalori hingga mencapai 3500-4000
kalori per hari). Monitoring untuk pencegahhan infeksi diperlukan, jika terdapat
tanda infeksi pemeberian antibiotik dianjurkan dan menunggu hingga hasil kultur
dan sensitivitas keluar. Pemberian sedasi dan analgesik dianjurkan berdasrkan
tingkat keparahan.(19)
Pemberian
Immunoglobulin dan kortikosteroid
Djuanda (2009) mengatakan dalam bukunya, pengobatan
yang dilakukan yaitu dengan kortikosteroid. Cara pengobatan mirip dengan
pengobatan pada Sindrom Stevens Johnson (SSJ). Perbedaannya mengenai dosisnya,
Nekrolisis epidermal toksik (NET) lebih parah daripada SSJ sehingga dosis
kortikosteroid lebih tinggi, umumnya deksametason 40 mg sehari Intra vena dosis
terbagi. Bila setelah dua hari diobati dengan cara tersebut, masih juga timbul
lesi baru hendaknya dipikirkan kemungkinan alergi terhadap obat yang diberikanpada
waktu rawat inap.(2)
Penggantian plasma menghasilkan remisi yang komplit
dalam dua kali pemberian. Plasmaparesis merupakan intervensi yang aman bagi
pasien yang parah dan menurunkan tingkat mortalitas. Intravena immunoglobulin G merupakan
penalatalaksanaan yang aman
dan efektif untuk penderita NET dewasa dan anak-anak. Penatalaksanaan dengan IVIG
3g/Kg dalam 3 hari atau 1g/Kg perhari untuk 3 hari direkomendasikan. Untuk
mendapatkan hasil yang baik beberapa penulis melaporkan dengan dosis maksimal
4g/Kg dalam 4 hari.(3, 8)
X.
KOMPLIKASI
Toksik epeidermal nekrolisis merupakan kondisi
kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal. Infeksi dan kehilangan cairan
serta elektrolit merupakan keadaan yang mengancam. Nyeri yang dirasakan hampir
di seluruh tubuh membuat pasien menderita. Setelah fase akut terlewati
kemungkinan menyebabkan timbulnya skar pada kornea. Pasien NET juga sangat
berisiko terkena hipotermi.(13, 20)
Satu diantara komplikasi yang parah adalah terkenanya
epitel trakea dan bronkial yang tejadi pada 20% pasien. Hipoksemia, hipocapnia
dan alkalosis metabolik adalah tanda penting dibutuhkannya ventilasi mekanik,
ketiga kondisi tersebut juga meningkatkan resiko kematian.(19)
Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut
akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan
glomerulonefritis.(2)
XI.
PROGNOSIS
Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik
daripada jika disebabkan alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit meliputi
50-70% permukaan kulit, prognosisnya buruk. Jadi luas kulit yang terkena
mempengaruhi prognosisnya. Juga bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia.
Angka kematian antara tahun 1999-2004 (selama 5 tahun) hanya 16,0% jadi lebih
tinggi dari pada SSJ yang hanya 1 % karena NET memang lebih berat. Tingkat
mortalitas pada pasien NET meningkat pada pasien yang berusia lebih tua dan
mengenai area tubuh yang luas. (2)
Lebih dari 50% pasien yang pernah menderita NET memiliki gejala
sisa, meliputi konjutiva sinekia, entropion, skar pada kulit, pigmentasi yang irreguler, nevus yang eruptif,
phimosis, vaginal sinekia, distrofi kuku, rambut rontok yang difus.(2,!2)
a. Umur
> 40 tahun
b. Frekuensi
nadi ≥ 120/menit
c. Riwayat
keganasan
d. Meliputi
>10% permukaan tubuh
e. Serum
nitrogen urea >10 mmol/L
f. Serum
bicarbonat< 20 mmol/L
g. Serum
glukosa >14 mmol/L
Tiap poin di atas bernilai 1 point. Dan berdasrkan penilain diatasa prognosis
mortalitasnya yaitu; Skor 0-1, mortalitasnya 3,2%. Skor 2, mortalitasnya 12,1%,
skor 3 mortalitasnya 35,8%, skor 4, mortalitasnya 58,3% dan skor =5
mortalitasnya 90%.(3)
DAFTAR PUSTAKA
6. DO
SJP. Steven Jhonson Sindrom and Toxic Epidermolysis. 2007; Available from: http://link.springer.com/article.
7. Klein
PA. Toxic Epidermal Necrolysis. 2011
[cited 2012 10 november 2012]; Available from: http://emedicine.com/article.
20. Vern-Gross
TZ, Kowal-Vern A, Poulakidas SJ. Toxic
Epidermal Necrolysis in an irradiated Patient Treated with a Nanocrystalline
Seilver Dressing.
KARGER. 2012.
No comments:
Post a Comment